Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi karena memiliki potensi kerusakan yang tinggi. Penyebaran dapat meluas dengan cepat terutama apabila faktor-faktor pendukung perkembangannya tersedia seperti kepadatan populasi vektor utama wereng hijau (Nephotettix virescens) dan sumber infeksi. Penanaman varietas padi yang peka, dan pertanaman yang tidak serentak serta faktor lingkungan terutama musim hujan dan kelembaban yang tinggi juga menguntungkan bagi perkembangan wereng hijau.
Infeksi penyakit tungro pada tanaman padi dapat terjadi sejak tanaman di persemaian. Pada daerah pertanaman padi yang serentak infeksi penyakit tungro sebagian besar mulai terjadi setelah tanam. Kehilangan hasil padi akibat serangan tungro sangat bervariasi, tergantung pada umur tanaman dan intensitas serangan. Semakin muda stadia tanaman terinfeksi, semakin besar kehilangan hasilnya. Kisaran kehilangan hasil pada stadia yang terinfeksi 2 – 12 minggu setelah tanam (mst) antara 90 – 20%. Pada intensitas serangan ringan kehilangan hasil diperkirakan mencapai 15%, intensitas serangan sedang mengakibatkan kehilangan hasil lebih kurang 35%, intensitas serangan berat mengakibatkan kehilangan hasil lebih kurang 59%. Apabila kehilangan hasil mencapai 79% keatas maka daerah serangan dinyatakan sebagai puso.
BIOLOGI DAN EKOLOGI
Infeksi virus tungro menyebabkan tanaman kerdil, daun muda berwarna kuning dari ujung daun, daun yang kuning nampak sedikit melintir dan jumlah anakan lebih sedikit dari tanaman sehat . Secara umum hamparan tanaman padi terlihat berwarna kuning dan tinggi tanaman tidak merata, terlihat spot-spot tanaman kerdil.
Tanaman yang terinfeksi tumbuh kerdil, jumlah anakan sedikit, helaian daun dan pelepah daun memendek. Pada bagian bawah helaian daun muda terjepit oleh pelepah daun, sehingga daunnya terpuntir atau menggulung sedikit. Malai pendek, gabah tidak terisi sempurna atau kebanyakan hampa dan terdapat bercak-bercak coklat yang menutupi malai.
Infeksi tungro pada tanaman tua (umur di atas 50 hari setelah tanam) kurang berpengaruh terhadap produksi dan tanaman tidak menampakkan gejala serangan sampai panen. Namun singgang yang tumbuh setelah dipanen memperlihatkan gejala serangan yang khas.
Infeksi pada varietas padi yang rentan seperti Pelita, Cisadane, dan IR 64 menunjukkan gejala yang nyata (jelas), sedangkan infeksi pada varietas tahan seperti Semeru, IR 42, IR 72, IR 74, menunjukkan gejala yang kurang nyata.
Gejala mirip tungro juga dapat disebabkan oleh agensia lain atau keracunan/kekurangan unsur hara tertentu, salah satu contohnya adalah kekurangan Nitrogen.
Untuk mengidentifikasi secara cepat tanaman terinfeksi virus tungro dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Gejala dan sebaran penyakit tungro
Serangan penyakit tungro di lapangan dapat diketahui secara cepat dengan cara mengamati gejala yang khas yaitu serangan tersebar secara sporadis dan mengelompok. Gejala seperti ini dapat dibedakan dengan gejala tanaman kekurangan/keracunan unsur hara tertentu, dimana gejalanya lebih merata hampir di seluruh areal pertanaman. Apabila ditemukan serangan sporadik di lapangan, maka hal ini merupakan adanya indikasi tanaman terserang tungro.
b. Uji iodium
Uji ini tidak selalu akurat dan tidak spesifik, tetapi dapat membantu identifikasi penyakit tungro.
Cara pertama :
- Daun tanaman sakit (daun ke- 2 dan ke- 3) dipotong sepanjang 10 - 15 cm.
- Klorofil pada daun dihilangkan dengan cara merebus potongan daun dalam cairan alkohol 96% selama 30 menit, atau dengan merendam daun dalam alkohol 96% selama 24 jam.
- Potongan daun kemudian direndam dalam larutan iodium selama 10 menit.
- Cuci dalam alkohol 96% untuk menghilangkan sisa larutan iodium pada daun.
- Apabila warna potongan daun berubah menjadi biru berarti contoh tanaman tadi positif ditulari virus.
Cara Kedua :
- Menggunakan daun kedua dan ketiga dari atas. Daun dipotong sepanjang ¾ nya.
- Siapkan campuran iodium tincture dengan air (dengan perbandingan 1 : 4), lalu celupkan ujung potongan daun kedalamnya selama 15 - 20 menit.
- Tanda negatif tampak dari reaksi coklat muda sedangkan positif adalah coklat tua.
c. Uji penularan
Uji penularan dapat dilakukan dengan dua cara :
Cara pertama :
- Tanaman sakit yang dibawa dari lapang disungkup dengan kasa tahan serangga.
- Wereng hijau sebanyak 100 - 200 ekor dimasukkan ke sungkup tersebut dan dipelihara hingga semai padi sudah siap diinokulasi.
- Semai padi berumur 5 - 10 hari setelah sebar (hss) disungkup dengan kasa, kemudian 25 - 50 ekor wereng infektif dimasukkan ke dalamnya dan dibiarkan menghisap tanaman selama 24 jam.
- Setelah itu, wereng dibunuh dan tanaman dipelihara hingga gejala muncul, yaitu kurang lebih 7 - 14 hari setelah inokulasi.
Cara kedua :
- Sebelum ke lapang, semai padi (umur 7 hari), sudah disiapkan.
- Wereng hijau yang ditangkap dari lapang dapat digunakan untuk menginokulasi semai padi di atas. Jumlah wereng tiap tanaman adalah 5 ekor.
- Selanjutnya mengikuti cara pertama.
d. Uji Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assays (ELISA)
ELISA merupakan uji serologi yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi virus, termasuk virus tungro, karena relatif mudah, cepat, sensitif, akurat dan dapat digunakan untuk skala besar. Metode ini menjadi sangat sensitif dan akurat, karena penggunaan antibodi yang khas hanya bereaksi dengan virus yang bersangkutan. Untuk menguji tungro, diperlukan dua jenis antibodi, yaitu untuk virus tungro bulat dan virus tungro batang.
Prinsipnya pada metode ini, larutan antibodi dituangkan pada permukaan cawan-cawan mini pada piring ELISA dan diinkubasi. Cawan dibilas, cairan contoh tanaman dituangkan dan diinkubasi, setelah dibilas cawan diisi larutan konjugat dan diinkubasi. Cawan sekali lagi dibilas dan larutan substrat yang bening dituangkan ke cawan. Dalam waktu 10 - 30 menit apabila terjadi perubahan warna menjadi kuning maka contoh tanaman mengandung virus (positif) dan sebaliknya apabila tidak berubah warna berarti negatif.
e. Uji PCR
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan teknik laboratorium yang dapat menggandakan asam nukleat (DNA) virus di dalam mesin pengganda DNA. Virus tungro batang ataupun virus tungro bulat baik yang terdapat dalam contoh tanaman padi atau dalam tubuh wereng hijau dapat dideteksi, walaupun kadarnya sangat kecil.
Dibandingkan dengan ELISA, PCR dapat 1000 - 10.000 kali lebih akurat dan sensitif.
Secara garis besar, PCR meliputi tahap-tahap ekstraksi DNA dari contoh tanaman, penggandaan DNA dengan menggunakan primer khusus, visualisasi hasil penggandaan DNA dalam gel agarose melalui cara elektroforesis, terakhir gel tersebut diwarnai (staining) dengan ethidium bromida, sehingga pita-pita DNA virus dapat diamati dengan jelas, sedangkan dari contoh tanaman tidak terinfeksi virus, tidak ada pita DNA.
Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu virus bentuk batang (RTBV: rice tungro bacilliform virus) dan bentuk bulat (RTSV : rice tungro sperical virus) yang hanya dapat ditularkan oleh wereng, terutama yang paling efisien adalah spesies wereng hijau Nephotettix virescens Distant
virus tungro bentuk bulat
wereng hijau
Selain wereng hijau, wereng loreng recilia dorsalis (N. Nigropictus) juga bisa menularkan virus tungro ini meski tidak terlalu efisien
wereng hijau dan wereng loreng
Rentang efisiensi penularan virus oleh populasi Nephotettix virescens antara 35 - 83%, dibandingkan dengan N. nigropictus yang rentang efisiensinya antara 0 - 27%. Spesies wereng hijau lainnya seperti N. malayanus dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% dan 7% lebih rendah dari N. virescens.
Bila ada sumber virus, intensitas serangan penyakit tungro sangat erat hubungannya dengan fluktuasi populasi vektor. Fluktuasi kerapatan populasi N. virescens sangat beragam tergantung pola pertanaman. Pada tanam tidak serentak, pola umum pertumbuhan kerapatan populasi wereng hijau hanya meningkat sekali, puncak kerapatan populasi terjadi pada pertengahan pertumbuhan tanaman padi. Sedangkan pada tanam serentak kepadatan populasi meningkat terus atau tidak meningkat sama sekali. Pada pola tanam serentak emigrasi imago mempengaruhi fluktuasi kerapatan populasi sedangkan pada pola tanam serentak dipengaruhi keberadaan musuh alami.
Daur Penyakit dan Tanaman Inang
Vektor menularkan virus-virus tungro secara semi persisten. Vektor menjadi infektif setelah mengisap cairan tanaman sakit selama minimal 30 menit dan serangga ini dapat memindahkan virus ke tanaman sehat pada saat mengisap tanaman sehat selama 15 menit. Masa inkubasi di dalam tanaman adalah 6 - 14 hari. Serangga dapat langsung menularkan virus setelah mengisap tanaman sakit dan dapat mempertahankan virus di dalam tubuhnya (masa retensi) selama tidak lebih dari 5 hari. Setelah masa ini, serangga menjadi tidak infektif, dan kembali lagi menjadi infektif setelah mengisap tanaman sakit.
Virus ini tidak ditularkan melalui telur serangga, dan juga tidak dapat menular melalui biji, tanah, air, angin dan secara mekanis (misal pergesekan antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat).
Nimfa wereng hijau juga dapat menularkan virus ini, tetapi menjadi tidak infektif setelah ganti kulit.
Infeksi tungro dapat terjadi mulai di persemaian. Pada fase persemaian sampai dengan 45 hari setelah tanam (hst) sangat sensitif terhadap infeksi virus tungro. Apabila infeksi terjadi pada fase persemaian maka gejala tungro mungkin tampak pada tanaman umur 14 - 21 hari setelah tanam (hst). Tanaman muda yang terinfeksi merupakan sumber inokulum efektif di lapangan.
Selama satu periode pertumbuhan tanaman padi terjadi 2 puncak-tambah-rumpun-terinfeksi yaitu pada saat 28 hst dan 56 hst. Puncak infeksi pertama disebabkan oleh serangga imigran pada 14 hst, sedangkan puncak infeksi kedua disebabkan infeksi yang terjadi saat 42 hst oleh keturunan serangga imigran.
GB. 1 Daur transmisi virus (semi persisten) Sumber inokulum penyakit tungro adalah bibit ceceran gabah (voluntir), singgang serta rumput inang yang terinfeksi. Tanaman inang tungro selain padi adalah rumput belulang (Eleusine indica), rumput bebek atau tuton (Echinochloa colonum), jajagoan (Echinochloa crusgali), juhun randan (Ischaemum rugosum), tapak jalak atau rumput katelan (Dactyloctenium aegyptium), rumput asinan (Paspalum distichum) dan padi liar (Oryza spp.). Adapun serangga dan voluntir sebagaimana gambar 21 berikut :
voluntir
Gambar 22. Tanaman inang P. distichum (L. ) Auct. (kiri atas). E. crusgalli (L.) Beauv. (kanan atas), E. indica (L.) Gaertn. (kiri bawah). L. hexandra (L.) Swartz. (kanan bawah)
PENGENDALIAN
Pengendalian penyakit tungro dianjurkan dilakukan dengan memadukan teknik pengendalian yang berefek sinergis memperkuat meknisme pengendalian alami, dalam sistem pengelolaan tanaman terpadu, yang diitroduksikan/aplikasikan secara bertahap sesuai dengan tahapan budidaya. Aplikasi insektisida untuk mematikan secara cepat wereng hijau agar efisien dan berdampak paling sedikit terhadap lingkungan, sebaiknya dilakukan berdasarkan hasil pengamatan tentang kondisi ancaman tungro
1. Tanam Serentak
Hamparan sawah disebut tanam serentak apabila minimal pada luasan 20 ha dijumpai stadia tanaman yang hampir seragam. Sumber serangan adalah tanaman musim sebelumnya yang terinfeksi virus pada saat tanaman umur 45 - 60 hst dengan intensitas serangan lebih dari 1%. Sumber migran dapat dari lapangan yang bersangkutan dan atau dari hamparan, baik dari dalam petakan maupun galengan yang ditumbuhi rerumputan dan terdapat spesies wereng hijau lainnya selain N. virescens terutama N. nigropictus.
Rekomendasi pengendalian sesuai tahapan budidaya padi untuk pertanaman berikutnya adalah:
a. Eradikasi sumber inokulum. Diupayakan 5 hari sebelum semai lahan sudah terbebas dari sumber inokulum. Tanah segera diolah untuk mencegah adanya sumber inokulum, pada singgang atau voluntir. Bila mungkin tanam padi dengan cara tabur benih langsung (tabela) menggunakan alat-tabela setelah petakan dibersihkan dan diratakan.
b. Varietas tahan. Varietas tahan tungro yang telah dilepas dapat digolongkan menjadi varietas tahan wereng hijau (vektor) dan varietas tahan virus tungro. Varietas tahan wereng hijau yang telah dilepas beragam sumber tetua tahannya namun beragam juga mutunya. Disamping itu untuk daerah endemis tertentu seperti di Nusa Tenggara Barat wereng hijau telah beradaptasi (efektif menularkan tungro) untuk semua golongan varietas tahan wereng hijau. Varietas tahan wereng hijau digolongkan menjadi T0-T4 berdasarkan sumber tetua tahannya. Varietas yang tergolong dalam golongan T0 tidak memiliki gen tahan. Termasuk dalam golongan T0 adalah varietas-varietas IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, dan Lusi. Varietas yang tergolong dalam golongan T1 memiliki gen tahan Glh1. Termasuk dalam golongan ini adalah varietas-varietas IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, dan Serayu. Varietas yang tergolong dalam golongan T2 memiliki gen tahan Glh 6. Termasuk dalam golongan ini adalah varietas-varietas IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung, Krueng Aceh dan Bengawan Solo. Sedang varietas yang termasuk dalam golongan T3 memiliki gen tahan Glh 5. Termasuk dalam golongan ini adalah IR50, IR48, IR54, IR52 dan IR64. Varietas yang termasuk dalam golongan T4 memiliki gen tahan glh4. yang termasuk dalam golongan ini adalah IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun dan Klara. Varietas tahan virus tungro yang telah dilepas adalah Tukad Petanu, Tukad Balian, Tukad Unda, Kalimas dan Bondoyudo.
c. Waktu Tanam Yang Tepat. Tanaman padi peka terhadap infeksi tungro sampai umur 45 hst. Usahakan menghindari infeksi pada periode tersebut dengan mengatur waktu tanam. Waktu tanam yang tepat dapat ditentukan dengan mengetahui fluktuasi bulanan kerapatan populasi wereng hijau dan intensitas tungro. Atur waktu tanam agar saat terjadi puncak kerapatan populasi dan intensitas tungro, tanaman telah berumur lebih dari 45 hst. Waktu tanam tepat untuk pantai Barat Sulawesi Selatan tidak banyak berubah, sedangkan untuk pantai Timur mengalami perubahan maju satu bulan. Daerah tanam serentak lainnya perlu dipelajari waktu tanam tepat untuk tanam padi, karena pola fluktuasi kerapatan wereng hijau dan intensitas tungro sangat bersifat spesifik lokasi.
d. Konsevasi musuh alami (pemangsa) dan pengendalian hayati. Pematang dibersihkan setelah tanaman umur 30 hst bila tidak terdapat rerumputan inang, atau pematang yang telah dibersihkan diberi mulsa sebagai tempat berlindung musuh alami, terutama pemangsa. Pengendalian tungro dengan insektisida nabati seperti Sambilata atau Mimba dan patogen serangga seperti Metharizium harus dilakukan secara dini sejak tanaman umur 14 hst dan diulang secara periodik minimal seminggu sekali sampai tanaman padi melewati fase rentan infeksi (28-35 hst), sebab secara alamiah umumnya perkembangan musuh alami terlambat dibanding wereng hijau.
e. Monitoring ancaman di pesemaian. Pemantauan wereng hijau di pesemaian dilakukan dengan jaring serangga sebanyak 10 ayunan untuk mengevaluasi kerapatan populasi wereng hijau. Di samping itu juga perlu dilakukan uji iodium untuk mengetahui intensitas tungro pada 20 daun padi 15 hari setelah semai (hss). Jika hasil perkalian antara jumlah wereng hijau dan persentase daun terinfeksi sama atau lebih dari 75, maka pertanaman terancam tungro, lakukan pengendalian dengan insektisida kimiawi untuk menekan kerapatan populasi imago migran infektif.
f. Tanam sistem legowo. Penanaman dengan cara legowo dua baris atau empat baris dapat menekan pemencaran wereng hijau sehingga mengurangi penularan tungro.
g. Monitoring ancaman saat tanaman muda. Amati tanaman bergejala tungro. Apabila terdapat 5 rumpun tanaman dengan bergejala tungro dari 10.000 rumpun tanaman (intensitas 0,05%) saat tanaman berumur 2 mst atau satu rumpun tanaman bergejala tungro dari 1.000 rumpun (intensitas 0,1 %) tanaman saat berumur 21 hst tanaman terancam. Eradikasi selektif tanaman bergejala, dan diikuti dengan aplikasi insektisida kimiawi.
h. Pengendalian dengan insektisida kimiawi. Apabila berdasarkan hasil monitoring saat tanaman berumur hingga 3 mst diketahui tanaman terancam, vektor perlu segera dikendalikan dengan insektisida kimiawi yang telah terdaftar dan diizinkan yang berbahan aktif imidacloprid, tiametoksan, etofenproks, atau karbofuran.
i. Mengurangi pemencaran vektor. Kondisi air sawah tetap dijaga pada kapasitas lapang (macak-macak), sebab sawah yang kering merangsang pemencaran wereng hijau, sehingga memperluas penyebaran tungro.
j. Perbaikan pola tanam. Pada jangka menengah dan jangka panjang usahakan menanam palawija diantara musim tanam padi atau tanam palawija di pematang sebagai tempat berlindung musuh alami.
2. Tanam Tidak Serentak
Hamparan sawah disebut tidak tanam serentak apabila dalam satu hamparan dijumpai berbagai stadia tanaman. Sumber inokulum adalah tanaman umur 35 - 63 hst, singgang 28 hari setelah panen, pesemaian dan juga voluntir. Migrasi berlangsung terus menerus dari tanaman fase generatif ke tanaman fase vegetatif. Sebagian kecil migrasi terjadi dari galengan yang ditumbuhi rerumputan dan terdapat spesies wereng hijau N. nigropictus.
Rekomendasi pengendalian sesuai tahapan budidaya padi untuk pertanaman berikutnya adalah:
a. Tanam varietas tahan. Varietas tahan tungro yang telah dilepas dapat digolongkan menjadi varietas tahan wereng hijau (vektor) dan varietas tahan virus tungro. Varietas tahan wereng hijau yang telah dilepas beragam sumber tetua tahannya namun beragam juga mutunya. Disamping itu untuk daerah endemis tertentu, misalnya di Nusa Tenggara Barat wereng hijau telah beradaptasi (efektif menularkan tungro) untuk semua golongan varietas tahan wereng hijau. Varietas tahan virus tungro yang tersedia saat ini yaitu Tukad Unda, Tukad Balian, Tukad Petanu, Kalimas, dan Bondoyudo.
b. Monitoring ancaman di persemaian. Pemantauan wereng hijau di pesemaian dilakukan dengan jaring serangga sebanyak 10 ayunan untuk mengevaluasi kerapatan populasi wereng hijau. Di samping itu juga perlu dilakukan uji yodium untuk mengetahui intensitas penyakit tungro pada 20 daun padi pada 15 hari setelah semai. Jika hasil perkalian antara jumlah wereng hijau dan persentase daun terinfeksi sama atau lebih dari 75%, maka pertanaman terancam tungro, lakukan pengendalian dengan insektisida kimiawi untuk menekan kerapatan populasi imago migran infektif.
c. Pengendalian hayati. Pengendalian tungro dengan insektisida nabati seperti Sambilata atau Mimba dan patogen serangga seperti Metharizium harus dilakukan dini sejak di persemaian dan diulang secara periodik minimal seminggu sekali sampai tanaman padi melewati fase rentan infeksi (28–35 hst), sebab secara alamiah umumnya perkembangan musuh alami terlambat dibanding wereng hijau.
d. Tanam sistem legowo. Penanaman dengan cara legowo dua baris atau empat baris dapat menekan pemencaran wereng hijau sehingga mengurangi penularan tungro.
e. Monitoring ancaman saat tanaman muda. Amati tanaman bergejala tungro. Apabila terdapat lima gejala penularan tungro dari 10.000 rumpun tanaman saat berumur 14 hst atau satu gejala tungro dari 1.000 rumpun tanaman saat berumur 21 hst tanaman terancam. Cabut tanaman bergejala dan segera lakukan pengendalian kuratif dengan insektisida kimiawi.
f. Pengendalian kuratif dengan insektisida kimiawi. Apabila berdasarkan hasil monitoring saat tanaman muda sampai tanaman 21 mst diketahui tanaman terancam, vektor segera dikendalikan dengan insektisida kimiawi yang mempunyai kemampuan mengendalikan cepat seperti insektisida dengan bahan aktif imidacloprid, tiametoksan, etofenproks, atau karbofuran.
g. Mengurangi pemencaran vektor. Kondisi air sawah tetap dijaga pada kapasitas lapang (macak-macak), sebab sawah yang kering merangsang pemencaran wereng hijau, sehingga memperluas penyebaran tungro
h. Perbaikan pola tanam. Usahakan secara bertahap dapat tanam serentak minimal pada luasan 20 ha dan menanam palawija diantara musim tanam padi atau menanam palawija di pematang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 2007, Masalah lapang hama penyakit hara pada padi,Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan
Anonym,2007, Petunjuk Teknis Hama Penyakit,Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
Anonim, Penyakit tungro pada padi
Suniardi, 2007,Petunjuk teknis Pengendalian Tungro, Puslibangtan
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1992. Paket Teknologi Penerapan Pengendalian Hama Terpadu dalam Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan pada Padi dan Kedelai, Jakarta.
Hibino, H. and R. C. Cabunagan. 1986. Rice tungro associated viruses and their relation to host plants and vector leathopper. Trop. Agr. Res. Ser. 19: 173-182.
Ling, K.C. 1972. Rice Virus Diseases. International Rice Research Institute. Los Banos Philippines.
Muhsin, M. 1998. Teknik ELISA untuk mendeteksi virus-virus tungro padi. Prosiding Temu Ilmiah Tahunan Bioteknologi Pertanian 1998. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Bogor.
Muhsin, M. 1998. Deteksi virus tungro sperikal dari tanaman padi dengan teknik reverse transcription polymerase chaim reaction. Prosiding Temu Ilmiah Tahunan Bioteknologi Pertanian 1998. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Bogor.
Sama, S., A. Hasanuddin, I. Manwan, R.C. Cabunagan and H. Hibino. 1991 Integrated rice tungro disease management in South Sulawesi, Indonesia. Crop Protection 10: 34-40.
Soetarto, A., Jasis, S.W. G. Subroto, M. Siswanto dan E. Sudiyanto. 2001. Sistem peramalan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) mendukung sistem produksi padi berkelanjutan. Dalam Implementasi Kebijakan Strategis untuk Meningkatkan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Las eds. Puslibang Tanaman Pangan. 247 hal.
Suzuki, Y., I K. R. Widrawan, I G. N. Gede, I N. Raga, Yasis and Soeroto. 1992. Field epidemiology and forecasting technology of rice tungro disease vectored by green leathopper. JARQ 26: 98-104.
Suzuki, dkk. 1992. Tungro dan Wereng Hijau. Kerjasama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman (ATA-162). Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta.
Syam M. Dan Wurjandari D. 2005. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara pada Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Tjandrakirana, dkk. 1990. Musuh Alami Organisme Pengganggu Tanaman Padi. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta.
Wasiati A., dkk. 2003. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman Padi. Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Jakarta.
Widiarta, I.N. , D. Kusdiaman, dan A. Hasanuddin. 1999. Dinamika populasi Nephotettix virescens pada dua pola tanam padi sawah. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 5: 42-49.
Widiarta, I.N. 2005. Wereng Hijau (Nephotettix virescens Distant). Dinamika populasi dan strategi pengendaliannya sebagai vektor penyakit tungro. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 24 : 85-92.